Seandainya bisa kembali berjumpa dengan masa lalu, tentunya hal itu akan sangat membuat malu untuk siapapun yang melihatnya, sebuah masa lalu yang tidak pantas jika harus menjelma saat ini. Tapi saat itu, setiap hal yang terjadi adalah sebuah alur takdir yang mengalir, bak air sungai yang melewati kerasnya bebatuan, terjun lepas selayaknya jatuh dari ketinggian, semuanya adalah hal yang wajar. Wajah lugu dan tingkah polos adalah hal yang tidak bisa dilanggar, saat mata selalu dipaksa untuk melihat sebuah kenakalan kecil, telinga selalu dipaksa untuk mendengarkan keluh kesah manja, dan hati selalu dirundung oleh sebuah kekhawatiran akan sebuah kemungkinan perjalanan panjang yang akan sulit untuk dilalui. Ya, saat itu banyak kekhawatiran yang membuatku sulit untuk berlepas diri, dan celakanya aku masih kesulitan untuk berlepas diri.
Kini, aku tidak lagi gugup melihat paras wajahmu. Mataku, seperti merestui untuk melihat tingkahmu yang telah tidak biasa. Telingaku, tidak lagi berontak menyumpal, saatku mendengar ucap harumu. Hatiku, tidak lagi dirundung amarah saat pipi manismu tergenangi oleh bulir air mata. Satu tahun, kau tersiksa oleh keharusan kerja yang menguras waktumu, sehingga kau sangat sering menghirup aroma senja yang wangi akan lelah. Satu tahun, kau banyak mengerutkan keningmu, sehingga kadang kau lupa bahwa ada kehidupan lain yang perlu kau jamah dan kau pikirkan. Satu tahun, kau harus rela dan terpaksa taat pada ucapku, sehingga terkadang kau harus menutup rapat ocehan orang yang harus kau hormati. Namun satu tahun berikutnya, adalah babak baru untuk kehidupanmu, sebuah kesempatan untuk menjaga kebaikan dan mengurai segala hal yang tidak layak untuk jadi sebuah cerita. Berikutnya, adalah sebuah fase sederhana dimana perjalanan dua tahunmu di uji, sebuah fase dimana kau harus tegak berdiri saat kau tidak lagi memiliki hak untuk mengirup aroma senja.
Wingsati ku, sekalipun kau telah melakukan banyak hal luar biasa hari ini dan kemarin, tapi maaf jika aku harus menyimpan kata “Selamat jalan dan Terimakasihku” untuk mu, bukan karena sebuah kepantasan, tapi ini berbicara tentang kesiapanku yang belum juga kunjung datang. Aku hanya takut, saat aku mengatakan dwi kata itu, aku harus benar-benar merelakan semuanya, aku belum siap. Namun aku tidak harus melanggar janji, saat bibir keluku harus berucap maaf atas apapun yang tidak layak untuk dipertontonkan, tidak layak untuk didengar. Suatu saat nanti, kata tersimpan itu akan aku perdengarkan untukmu sebagai pelengkap dari baris kata di akhir perjuangan untuk rumah sederhana kita.
Tentang selanjutnya, aku akan selalu menanti untuk menikmati setiap kebaikan yang kau ukir, tidak peduli seberapa lamapun itu. Akupun akan menanti, sejauh mana jemari kecilmu bisa saling mengikat antara satu sama lain, dan aku akan menanti, bahu kecilmu untuk sekedar menjadi sandaran keluh kesahku.
Tidak adil untukku jika aku harus mengatakan semuanya sekarang, aku masih ingin menceritakan banyak hal tentangmu. Aku tidak mau, aku kehabisan cerita untuk selalu menuliskan kisahmu.
Wingsati ku, maaf, ku simpan selamat jalan terimakasihku untuk nanti :)
-Dariku yang selalu memaksamu-
Monumen Unix Di Dunia
BalasHapusAgen Sbobet